Jumat, 28 Agustus 2015

KIS dan permasalahannya

Kartu Indonesia Sehat (KIS) menjamin dan memastikan masyarakat kurang mampu untuk mendapat manfaat pelayanan kesehatan seperti yang dilaksanakan melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan.
Lebih dari itu, secara bertahap cakupan peserta akan diperluas meliputi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan bayi yang lahir dari Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang selama ini tidak dijamin.
KIS memberikan tambahan manfaat, layanan preventif, promotif dan deteksi dini yang akan dilaksanakan secara lebih intensif dan terintegrasi.
KIS memberikan jaminan bahwa pelayanan oleh fasilitas kesehatan tidak membedakan peserta berdasarkan status sosial.
Penyelenggara Program adalah BPJS Kesehatan.
Perlu ditekankan bahwa layanan kesehatan bagi pasien pemegang kartu lain yang dikeluarkan BPJS berlangsung seperti biasa dengan manfaat yang sama dengan pemegang Kartu Indonesia Sehat. Penggantian Kartu BPJS menjadi Kartu Indonesia Sehat akan berlangsung bertahap.

Diatas merupakan sedikit catatan tentang apa itu KIS. Kartu Indonesia Sehat yang selanjutnya saya sebut KIS merupakan kartu yang diharapkan oleh pemerintah khususnya presiden Joko Widodo sebagai andalan dalam pemerintahannya selain Kartu Indonesia Pintar (KIP). Tetapi banyak hal yang membuat kendala lancarnya KIS dalam ranah kesehatan Indonesia.

terkadang banyak rumah sakit yang menolak pebayaran atau menolak merawat pasien yang menggunakan KIS ini. Memang sebelumnya sebelum BPJS menggantikan Askes pun, kartu Askes maupun Jamkesmas yang dikelola askes sering ditolak oleh banyak Rumah Sakit, sampai saat ini pun masalah ini terus terjadi dan terjadi.

Adanya hal tersebut menghambat tujuan baik yang ditawarkan oleh KIS kepada masyarakat yang benar benar kurang mampu. Masyarakat yang tidak mampupun tak bisa berdaya ketika hal tersebut terjadi. Mungkin karena masalah biaya yang berbeda antara orang miskin dengan orang kaya.

dalam berita Metro News disebutkan :
Metrotvnews.com, Jakarta: Kartu Indonesia Sehat (KIS) dikabarkan mendapat penolakan di beberapa rumah sakit daerah. Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa pun menilai peristiwa penolakan itu memang mungkin saja terjadi.

Menurutnya, penolakan itu terjadi karena setiap rumah sakit belum tentu memiliki persediaan dana untuk melayani pasien pengguna KIS.

"Jadi mungkin ada rumah sakit yang dia tidak cukup stock money, sehingga mereka harus mendapatkan jaminan bahwa reimbursenya tidak sulit," kata Khofifah saat ditemui di Kementerian Sosial, Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat, Jumat (7/11/2014).

Khohifah menambahkan, selama ini penolakan banyak terjadi karena kekhawatiran pihak rumah sakit yang bakal mengalami kesulitan saat klaim penggantian dana atau reimburse dana yang telah dikeluarkan rumah sakit untuk melayani pasien dengan bantuan pemerintah kepada pihak BPJS.

"Selama ini, reimburse kan lama, memang kalau reimbursenya lama mereka tidak punya fresh money, tidak bisa untuk layanan berikutnya," ujarnya.

Mantan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak era Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) ini menjelaskan, klaim penggantian dana ini diberikan oleh BPJS sebagai penyelenggara kepada tiap-tiap rumah sakit. "BPJS (yang mengganti reimburse) dananya dari Kemenkes. Karena PBI (penerima bantuan iuran) diiur oleh pemerintah," lanjut dia.

Maka itu, Khofifah mengatakan, Presiden Jokowi telah meminta kepada BPJS sebagai penyelenggara agar dapat memiliki perwakilan sesegera mungkin di setiap kabupaten/kota, serta di setiap rumah sakit supaya proses reimburse mudah dilakukan dan masyarakat dapat terlayani dengan baik.

"Tapi, membuat infrastruktur itu kan tidak bisa bimsalabim, tapi itu yang sudah digarisi Presiden. Dengan begitu maka konsekuensinya adalah mekanisme reimburse itu tidak akan lama," bebernya.

Begitulah kira kira yang terjadi dengan KIS hari ini. Karena uang merupakan segalanya, sehingga masyarakat yang tidak mempunyai uang kan selalu tersisih dan terpinggirkan disegala bidang tak hanya salm kesehatan saja bahkan sampai ke sektor sektor lainya.

#2 Diary

Hari ini merupakan hari kedua ospek fakultas serta menjadi hari yang terakhir, tetapi menjadi awal untuk aku mengikuti ospek jurusan.


Malam hari sebelumnya, aku mengerjakan tugas hingga larut malam, entah jam berapa aku peergi untuk tidur. Yang pasti malam itu sudah lebih dari tengah malam.


Pagi harinya, aku terbangun dengan setengah terkejut karena takut terlalu siang bangunku. Langsung aku mengambil hapeku untuk mengetahui jam. Ternyata jam sudah menunjukkan 05.26. Karena mengetahui bahwa aku kesiangan, langsung aku berlari mengambil handuk dan bergegas mandi.


Jam 06.00 aku sudah berada di rumah temanku bersama dengan teman teman satu kelompok, untuk membagikan barang barang yang akan aku pergunakan untuk osmb btoph atau lebih familiar disebut dengan ospek jurusan.


Karena ketentuan mengatakan aku harus datang pukul 06.30, aku dengan teman satu kelompokku langsung bergegas untuk berangkat ke fakultas keperawatan. Ternyata setelah sampai sana kami mendapati teman teman kami sedang asik duduk didepan fakultas keperawatan. Sekitar jam 07.00 kami dibariskan dan dipersilahkan untuk duduk masuk keruangan guna mengikuti osfak yang terakhir.


Setelah beberapa pemateri mengisi. Akhirnya acara selesai pukul 11.15. Acara dilanjutkan dengan sholat Jumat berjamaah.


Acara sesungguhnya baru dimulai. Setelah sholat Jumat ditunaikan. Kami langsung diajak ke lobi jurusan kesehatan masyarakat, berbaris sesuai kelompok kemudian dikomando agar duduk disitu juga. Setelah beberapa saat setelah berkumpul semua, makanan yang sudah disiapkan dibagi satu satu. Waktu yang disediakan panitia untuk kami makan yaitu sekitar 7 menit. Bak singa kelaparan kamipun bergegas dalam memakan makanan yang disediakan.


Setelah makan selesai kami melakukan upacara opening ceremony osmb btoph 2015. Setelah upacara selesai. Kami langsung digiring ke ruang pertemuan yang telah disediakan. Setelah jam menunjukkan pukul 16.30, kami melakukan apel sore.

kami memutuskan untuk pulang dan meneruskan tugas yang telah diberikan oleh panitia.



Senam Kami

Sore setelah acara PKKM kami team dari jurusan Kesehatan Masyarakat memutuskan untuk berkumpul di sebuah lapangan yang cukup luas.sore itu 120an orang berkumpul dalam satu tempat untuk berlatih senam yang ditugaskan oleh Mbak dan Mas pembimbing kami. Awalnya lumayan sulit ketika satu sama lain belum terlalu kenal. mungkin karena masih canggung, sehingga butuh waktu beberapa saat hingga kami bisa berbaris dan bersiap untuk melakukan latihan senam. 
Dipimpin oleh seorang cewek yang bahkan saya jujur belum mengenalnya, alunan musik yang berputar memulai gerakan senam kami.setiap lagu yang terlewati semakin asyik. walaupun matahari secara perlahan meredup dan mulai memasuki tempat tidurnya.
setelah kira kira 15 menit berlalu, senampun selesai. Akhirnya kami berfoto bersama, tanda kenang kenangan untuk kegiatan yang bisa dibilang cukup melelahkan. 

Biostatisktika

BIOSTATISTIK ( Pengertian dan Jenis Data )

Jenis Data Statistik dan Skala Pengukuran
2.5.1 Jenis Data
Data yang diperoleh dari suatu sampel dan populasi dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu :
a. Data kualitatif yakni data yang bukan berupa angka (non – numerik) biasa disebut dengan istilah atribut.
b. Data kuantitatif: data yang berupa angka (numerik). Data jenis ini dibedakan menjadi dua bagian, yaitu data diskrit dan kontinyu.
Selain pembagian tersebut, ada yang membagi data menjadi data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya, misal melalui wawancara, penyebaran kuesioner, pengukurn langsung, dan lain lain. Sedangkan data sekunder adalah data yang diambil/ disadur dari pihak lain, misal diambil dari koran, jurnal, penelitian/ publikasi pihak lain, dan lain-lain.
2.5.2 Skala Pengukuran
Skala pengukuran : cara mengukur suatu varibel. Terdapat 4 jenis skala pengukuran, yakni :
a. Skala Nominal : angka yang diberikan pada objek/ variabel pengukuran hanya memiliki arti sebagai label saja (asal bisa dibedakan). Tidak memiliki tingkatan.
Contoh skala nominal :
No.
Jenis Kendaraan
Jumlah (Unit)
1.
Peugeuot
1,367
2.
Toyota
68,638
3.
Isuzu
20,521
4.
Daihatsu
15,721
5.
BMW
1,515
b. Skala Ordinal : angka yang diberikan pada objek/ variabel pengukuran mengandung pengertian tingkatan.
Contoh skala ordinal:
No.
Jenis Kendaraan
Jumlah (Unit)
1.
Toyota
68,638
2.
Isuzu
20,521
3.
Daihatsu
15,721
4.
BMW
1,515
5.
Peugeuot
1,367
c. Skala Interval : angka yang diberikan pada objek/ variabel pengukuran mengandung sifat ordinal ditambah sifat jarak/ interval.
Contoh skala interval :
Suhu udara dapat berkisar antara -4° hingga 40° C. Jika termometer menunjukkan 0° C, bukan berarti tidak ada suhu, tetapi hanya sebagai penunjuk bahwa suhu saat itu tergolong rendah.
d. Skala Rasio : angka yang diberikan pada objek/ variabel pengukuran mengandung sifat interval ditambah sifat yang mampu memberikan keterangan tentang nilai absolut variabel yang diukur. Artinya apabila menunjuk angka 0 (nol), maka berarti benar-benar nol, tidak ada, atau kosong.
Contoh skala rasio :
Jumlah komponen mesin yang diproduksi per batch adalah 1.000.000 komponen. Bila dalam suatu batch menunjukkan angka produksi 0, maka artinya adalah pada saat itu tidak dilakukan proses produksi sehingga tidak ada output produksi.
sumber : http://ikm-biostatistik.blogspot.com/p/biostatistik-pengertian-dan-jenis-data.html

Health International Journal

Eradication and elimination: facing the challenges, tempering expectations

    The words eradication, elimination and control have been regularly defined in attempts to avoid inappropriate use of terminology while addressing the realities and challenges of public health programmes.1,2
    Whitty3 has recently outlined the dangers of raising expectations in the face of political, financial, biological and logistical efforts of eradication or elimination programmes, emphasising these risks in search of a holy grail. Bockarie et al.4 noted five categories that defined the elimination or endgame challenges—biological, socio-geographic, logistic, strategic and technical—providing examples from current programmes. These have created significant strategic and resource impediments to progress in implementation, requiring changes in approach often with significant financial implications.
    A variety of strategies are used to reduce incidence and prevalence of infectious diseases: vaccination (smallpox, polio, measles), chemotherapy (onchocerciasis, lymphatic filariasis, schistosomiasis), vector control, (onchocerciasis, malaria, schistosomiasis) and provision of improved clean water and sanitation (trachoma, guinea worm, soil transmitted helminths, schistosomiasis). Such strategies are more effective when combined, for example, chemotherapy, vector control and behaviour change, thereby achieving proportionately greater and more rapid impact on transmission.
    Eradication as a concept is specifically defined as a reduction to zero global incidence of a specific pathogen, not a disease, which results from such an infection. This represents a crucial distinction—the words disease and infection are often used interchangeably but incorrectly. Even WHO reporting recently on the yaws programme in India entitled their publication ‘Eradication of yaws in India.’ Thus, even WHO are unable to consistently use correct terminology. Another example is the call for the eradication of malaria. However, eradication is defined as the removal from the planet of a specific infection; raising the question, which of the five human species of Plasmodium is to be targeted? This is yet to be specified.
    If an organism, such as the smallpox virus, is maintained in the laboratory then the infection is considered eradicated but it is not extinct. In the case of smallpox, the virus was maintained in the USA and the Soviet Union (Russia). A global certification process is required for those organisms targeted for eradication and a Declaration of Global Eradication is required from WHO.
    For Dracunculiasis (guinea worm disease), an independent body, the International Commission for the Certification of Dracunculiasis Eradication, was established to oversee the process to conform with WHO's legal obligations through World Health Assembly resolutions. Members are appointed by the Director General of WHO to assess the validity of the evidence that transmission of Dracunculus medinensis has been achieved in previously endemic countries. Countries with no evidence of infection are required to submit a statement that transmission does not take place.5 Countries that have been certified following scrutiny of the evidence presented require a visit to validate the information provided to WHO by an independent certification team. If certified, countries are required to maintain vigilance that they remain transmission free through continued surveillance and maintenance of a rumour register. Any rumour should be investigated within 24 hours of being reported and the national reward system to do this should be continued. The responsibility for ‘proving a negative’ is a significant one if the target is global eradication or country or regional elimination. Evidence must be robust with regular assessments and surveillance for at least 3 years after the interventions have stopped.
    The smallpox programme in its final stages introduced a global reward of US$1000 to report any suspected case. Such a system will need to be established for guinea worm when all countries have been certified free of transmission. To date, some 194 countries and territories have been certified free of transmission. There remain four Guinea worm endemic countries: Chad, Ethiopia, Mali and South Sudan. The challenges of the endgame and the costs of driving transmission to zero country incidence are exemplified3,4 in high unit costs per case detected, in remote settings where health systems are weak, where surveillance and communication a challenge, and where civil unrest and conflict prevail. The recent experience of the polio eradication programme in Pakistan testifies to the security challenges.
    UN access to endemic areas may not be permitted for security reasons potentially preventing certification to validate the situation on the ground. Proving a negative to the satisfaction of an independent body will be a challenge despite the remarkable gains made in the guinea worm programme to date, with the two most endemic countries, Ghana and Nigeria, recently certified as free of transmission.6 The question of the use of the term ‘eradication’ following the findings of dogs infected with D. medinensis in Chad,7 and the possibility that the infection can be transmitted without the human host involvement, poses significant problems in confirming global eradication. In addition, post-intervention surveillance periods are necessary prior to any final assessment by an independent body to verify absence of transmission. The assessments required to provide sufficient evidence that transmission has been arrested are potentially expensive when needed at scale and in all previously endemic countries.
    Elimination is defined in a geographical context where transmission has been verified as having been arrested in a defined geographic location. Previously, eradication has been inappropriately used to define this situation. Most recent examples of achievements in verification of the absence of transmission are Onchocerca volvulus in Colombia and Ecuador,8 while Mexico and Guatemala are documenting similar achievements through dossiers submitted to the Pan American Health Organization (PAHO). The remaining endemic countries in this region, Brazil and Ecuador, if regional elimination is to be declared, have to ensure that the remote Yanomami communities on the border areas are accessible for regular ivermectin treatment, preferably more than once a year, or are treated with the macrofilaricide, doxycyline. The Yanomami endemic area illustrates the challenge of reaching remote communities where access is limited, where communities are migratory and health services sparse or non-existent.
    The African Programme for Onchocerciasis Control (APOC) changed its objective from control to elimination after it was demonstrated that transmission could be reduced if sustained high coverage of annual ivermectin treatment could be achieved over a period of 15–17 years in Senegal and Mali9 and in Kaduna State, Nigeria.10 However, the aspiration to eliminate transmission of O. volvulus throughout all endemic areas of Africa requires extension of programmes into areas not previously treated. The change from a highly successful control programme to one of elimination emphasises the increased costs of going the last mile in a greatly expanded programme. Will the costs of expansion of long-term treatment and of verifying that transmission has been arrested in some of the more remote and inaccessible parts of Africa over the long-term be sustainable? Proving to the satisfaction of an independent body that there is zero transmission over all the endemic areas of Africa has long-term financial, coordination and human resource implications.
    Lymphatic filariasis has been verified as eliminated in China and South Korea some 15 years ago. In China this followed several decades of interventions of chemotherapy and vector control. The current programme for the elimination of lymphatic filariasis as a public health problem has also achieved significant gains, providing evidence that transmission has been arrested in several countries thereby ensuring that no clinical cases will emerge following the cessation of mass drug administration. Again the challenge of obtaining the requisite evidence at scale globally will be a financial and logistic challenge based on the need to verify in 70+ endemic countries that transmission, the key parameter of success, has been arrested even if the public health problem has been alleviated.
    The use of the term ‘as a public health problem’ has been addressed3 in the case of the leprosy elimination programme. Success in the use of multi-drug therapy to reduce the public health problem in many countries has resulted in the perception that there remains a limited problem despite the large number of cases that remain in highly populous countries such as India. The definition of a public health problem is a subjective view and the parameters for such a definition dependent on expert opinion. While the desire to eliminate local transmission in perpetuity can be achieved in certain isolated geographic settings, the balance between true elimination and elimination of a public health problem will continue to be debated. The availability of interventions and, often, donated drugs to impact on the health of the poor should not be a reason for avoiding responsibility to provide resources to implement activities that will have a significant public health impact despite the fact the ultimate goal of total transmission control is difficult to achieve.
    The term eradication has been used to describe success in several isolated, often island, settings. More correctly, elimination should be the term applied. Examples of attempts at elimination of cystic hydatid disease to reduce human incidence of Echinococcus granulosus from Iceland in the 1800s, Cyprus, Tasmania, the Falkland Islands and New Zealand provide an insight into the application of a range of measures to prevent transmission. Dogs were prevented from access to sheep offal and purged to remove tapeworms, destruction of cyst-infected sheep carcasses instituted and extensive health education campaigns.11 All these island programmes were carried out over a period of decades, with New Zealand and Tasmania declaring provisionally they were free of hydatid disease in 2002. The elimination of the transmission of O. volvulus on the island of Bioko, following vector control of the Bioko form of Simulium yahense, has also been achieved.12 However, given that in Bioko S. yahense was a unique cytoform, it can be claimed that not only was elimination of transmission achieved but also extinction of a unique vector form.
    The debate around issues of eradication and elimination will continue. However, although the challenges are well-defined, the spectrum of these challenges, given they will play out over the long duration of programmes, will need continuous responses by the many stakeholders who have invested in them. The complexities of eradication and elimination and the public health policy issues generated require a deep understanding of the many dimensions that confront decision makers. As programmes evolve and complexities increase,13 the dynamic of changing biological, ecological and political scenarios over long periods of time demand an inbuilt flexibility and capacity to respond. The necessary response to these inevitable challenges requires vision, finance and commitment by the stakeholders of these programmes. Removing the last filarial worm or gametocyte in remote and insecure settings, and verifying to the scientific community that the evidence is sufficiently robust to declare eradication or elimination has been achieved, seems optimistic given the constraints identified and the biological capacity of our targets to challenge us. The objectives of eradication or elimination are laudable but prove costly. We should recognise that solving a public health problem is indeed a significant benefit, which has been achieved in many settings, and that the search for the holy grail may take longer than expected.
    source : http://inthealth.oxfordjournals.org/content/7/5/299.full

    DR. Moestopo

    BIOGRAFI MAYJEN PROF. MOESTOPO
    Mayor Jenderal Professor Moestopo (lahir di Ngadiluwih, Kediri, Jawa Timur, 13 Juli 1913 – meninggal di Bandung, Jawa Barat, 29 September 1986 pada umur 73 tahun) adalah seorang dokter gigi Indonesia, pejuang kemerdekaan, dan pendidik. Dia dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal 9 November 2007.
    Lahir di Kediri, Jawa Timur, Moestopo pindah ke Surabaya untuk menghadiri Sekolah Kedokteran Gigi di sana. Pada awalnya menjadi seorang praktisi, karyanya terputus pada tahun 1942 ketika Jepang menduduki Indonesia dan Moestopo ditangkap oleh Kempeitai untuk mencari mencurigakan. Setelah dibebaskan, ia menjadi dokter gigi untuk Jepang tapi akhirnya memutuskan untuk melatih sebagai seorang perwira tentara. Setelah lulus dengan pujian, Moestopo diberi komando PETA pasukan di Sidoarjo, ia kemudian dipromosikan menjadi komandan pasukan di Surabaya.
    Sementara di Surabaya, selama Indonesia Revolusi Nasional Moestopo ditangani dengan pasukan ekspedisi Inggris yang dipimpin oleh Brigadir Walter Sothern Mallaby Aubertin. Ketika hubungan rusak dan Presiden Soekarno dipanggil ke Surabaya untuk memperbaiki mereka, Moestopo ditawari pekerjaan sebagai penasihat tapi ditolak. Selama perang ia menjabat beberapa posisi lainnya, termasuk memimpin satu skuadron tentara reguler, pencopet, dan pelacur untuk menyebarkan kebingungan di jajaran pasukan Belanda musuh. Setelah perang, Moestopo terus bekerja sebagai dokter gigi, dan pada tahun 1961 ia mendirikan Universitas Moestopo. Dia meninggal di Bandung pada tahun 1986.


    Awal kehidupan dan kedokteran gigi


    Moestopo lahir di Ngadiluwih, Kediri, Jawa Timur, Hindia Belanda pada tanggal 13 Juli 1913. Dia adalah anak keenam dari delapan bersaudara yang lahir Raden Koesoemowinoto. Setelah sekolah dasar nya, Moestopo pergi ke Sekolah Kedokteran Gigi (STOVIT) di Surabaya. Pendidikannya awalnya dibayar oleh saudara tuanya, Moestopo kemudian mengambil untuk menjual beras untuk mendapatkan jalan melalui universitas. Mengambil pendidikan lanjutan di lapangan di Surabaya dan Yogyakarta, pada tahun 1937 ia menjadi asisten dokter gigi di Surabaya. Dari 1941-1942, ia menjadi asisten direktur STOVIT.
    Setelah perang, Moestopo pindah ke Jakarta, di mana dia menjabat sebagai Kepala Bagian Bedah Rahang di Rumah Sakit Angkatan Darat (sekarang RSPAD Gatot Subroto Militer). Pada tahun 1952, Moestopo mulai pelatihan dokter gigi lain di off waktu dari rumahnya, memberikan pelatihan dasar dalam kebersihan, gizi, dan anatomi. Sementara itu, ia berada di bawah pertimbangan untuk posisi Menteri Pertahanan untuk Wilopo Kabinet, tetapi akhirnya tidak dipilih, melainkan, ia memimpin serangkaian demonstrasi menentang sistem parlementer.
    Moestopo diformalkan saja kedokteran gigi rumahnya pada tahun 1957, dan pada tahun 1958 - setelah pelatihan di Amerika Serikat - ia mendirikan Dr Moestopo Gigi College, yang ia terus mengembangkannya sampai menjadi sebuah universitas pada 15 Februari 1961. Pada tahun yang sama, ia menerima gelar doktor dari Universitas Indonesia.
    Moestopo meninggal pada 29 September 1986 dan dimakamkan di Pemakaman Cikutra, Bandung.


    Berikut adalah segelintir penghargaan yang beliau dapatkan, Dari Pemerintah Republik Indonesia.
    1.Sebagai Pahlawan Nasional
    2.Bintang Maha Putra Utama Republik Indonesia.
    3.Bintang Gerilya
    4.Bintang Sewindu Angkatan Perang Republik Indonesia.
    5.Satya Lencana Kemerdekaan 1945 Republik Indonesia
    6.Satya Lencana Prajurit Setia VII.
    7.Satya Lencana Sapta Marga.
    8.Satya Lencana Perang Kemerdekaan I.
    9.Satya Lencana Perang Kemerdekaan II.
    10.Satya Lencana Gerakan Operasi Militer (GOM) I.
    11.Satya Lencana Gerakan Operasi Militer (GOM) II.
    12.Satya Lencana Gerakan Operasi Militer (GOM) III
    13.Satya Lencana Gerakan Operasi Militer (GOM) IV.
    14.satya Lencana Dwidja Sistha dari Menhankam RI.
    15.Satya Lencana Satya dari UNPAD.
    16.Bintang Karya Bhakti dari UPDM(B)
    17.Satya Lencana Badan Keamanan Rakyat.
    Dari Luar Negeri.
    1.Dari Pemerintah Yugoslavia : Yogoslavenska Narodna Armija (Non Blok)
    2.Dari Pemerintah Jerman Barat : Um Internationale Fur Verdienste Partnershaft (Liberal).
    Masyarakat Internasional : Lion International (dalam bidang sosial).

    Kamis, 27 Agustus 2015

    KB dan permasalahannya


    Permasalahan KB di Indonesia



    KB atau yang disebut keluarga berencana adalah salah satu program pemerintah dalam bidang kesehatan masyarakat yang ditunjukkan untuk keluarga - keluarga Indonesia. Program ini ditunjukkan untuk pembatasan jumlah anak untuk membatasi jumlah penduduk Indonesia yang semakin meningkat. KB (keluarga berencana) juga merupakan upaya mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas.
    Banyak jenis – jenis KB yang terdapat di Indonesia misalnya seperti kontrasepsi tanpa alat (pil Kb ataupun pemotongan atau pengikatan saluran telur dan sperma) dan kontrasepsi dengan alat (spiral dan keluarga berencana) , KB juga terbukti aman untuk digunakan bila pemakai mengerti bagaimana cara menggunakan dan mengatur penggunaan KB tersebut, sehingga KB sangat aman dan bermanfaat bagi orang tua yang belum ingin memiliki anak ataupun menunda kehamilan tak terduga.
    Tetapi, di Indonesia KB belum efektif digunakan oleh masyarakat di seluruh di Indonesia, terutama daerah – daerah di pelosok di Indonesia yang belum mengerti atau belum bisa mendapatkan KB, sedangkan di daerah pelosok atau di desa – desa masih menerapkan banyak anak, banyak rezeki.
    Indonesia memang tidak mewajibkan semua penduduknya untuk harus mengikuti Program KB (keluarga berencana) ini. Namun, Indonesia hanya sebatas menganjurkannya tanpa aturan yang jelas. Oleh karena itu, Program ini kurang efektif untuk pengendalian jumlah penduduk sehingga jumlah penduduk indonesia masih meningkat pesat.
    Hanya sebagian orang – orang yang sadar akan masalah kebaikan KB ini, banyak masyarakat yang belum mengetahui keuntungan dan kegunaan KB, sedangkan KB sangat berguna untuk menghambat pertumbuhan anak yang banyak dan tidak terkendali. Kurangnya penyuluhan dan pembelajaran tentang KB di Indonesia membuat masyarakat buta akan pengetahuan tentang KB tersebut.
    Lalu bagaimanakah solusi yang tepat untuk mengatur dan menerapkan KB di Indonesia ? banyak solusi yang akan kita peroleh ntuk mengatasi persoalan berikut :
    1. Mengadakan penyuluhan

    Mengadakan penyuluhan akan pengetauan KB di pelosok daerah – daerah di Indonesia maupun di desa – desa terpencil yang belum mengetahui manfaat dari KB, dengan mengadakan penyuluhan, masyarakat indonesia mengerti akan manfaat KB dan memiliki rasa kepedulian akan ekonomi mereka bila memiliki anak banyak.
    2. Memberikan promosi KB gratis

    Pemerintah bisa mengadakan promosi KB gratis agar masyarakat tertarik dan mau melakukan KB. Dengan gratisnya KB masyarakat tidak perlu untuk mengeluarkan biaya, terutama bagi masyarakat yang memang tidak memiliki biaya untuk membeli alat KB yang mungkin bisa terbilag mahal bagi kalangan masyarakat kebawah.






    3. Menerapkan 2 anak lebih baik

    Dengan menerapkan pemikiran positif tersebut masyarakat akan memiliki pemikiran yang baik dalam mengelola keluarga dan mengatur kehamilan maupun kelahiran seorang anak, dan mereka mengerti akan manfaat program KB tersebut dengan menerapkan memiliki 2 anak akan lebih baik untuk pembiayaan ekonomi dan kedepannya, sehingga biaya yang lain bisa digunakan untuk pembiayaan pendidikan maupun pembiayaan lainnya.



    4. Memberikan peraturan untuk membatasi kelahiran anak


    Dengan memberikan peraturan tersebut, masyarakat akan mematuhi peraturan tersebut, dan menunda kehamilan atau mecegah kehamilan berikutnya, tetapi solusi ini hanya dapat digunakan bila masyarakat belum terlanjur memiliki anak lebih dari dua, bila sudah terlanjur memiliki anak lebihh dari dua, maka anak selanjutnya akan diberikan tunjangan biaya yang mahal atau yang disebut anak swasta yang tidak dapat pembiayaan dari pemerintah.

    #1 Diary

    haaaaahh... Dengan mengusap mataku peerlahan aku membuka handphoneku dan ternyata jam menunjukkan 04.00. Dengan sedikit terhuyung huyung aku bangun dari tidurku pergi menuju kamar mandi untuk cuci muka dan mengambil air wudlu. Jam 04.30 muadzin mengumandangkan suara indahnya.


    Jam 05.00 aku bergegas untuk mandi dan bersiap siap untuk hari ini. Baju putih lengan panjang, celana hitam, dasi hitam, jas almamater beserta topi sudah menyelimuti tubuhku pagi itu. Jam 06.00 aku sarapan walau dengan makanan bungkus dipinggir jalan. Hari ini akan menjadi hari yang panjang untukku.


    Setelah membaca line di grup agar sampai di lokasi jam 06.30, aku langsung bergegas untuk berangkat ke lokasi. Melihat fakultas lainya sudah baris dengan rapi. Aku langsung mempercepat langkahku agar cepat sampai tujuan.


    Beruntung, ternyata fakultasku belum mulai untuk berbaris. Tetapi teman teman satu kelompokku sudah siap sedia menggunakan jas almamater.


    Setelah beberapa menit menunggu teman satu kelompokku, aku dan teman temanku mulai masuk ke arena upacara. Beberapa saat kemudian dilakukan gladi bersih sebelum upacara dilakukan. Upacara hari ini di pimpin oleh Dekan Fikes.


    Setelah upacara selesai, kami diajak menuju ruang yang telah ditentukan untuk mendapat berbagai materi dari pemateri pemateri dari fakultas ilmu ilmu kesehatan itu sendiri.


    Jam 16.50 kami semua selesai mengikuti pkkmb. Sore hari sampai malamnya kami mengerjakan tugas kelompok lagi.

    Why I Choose This?

    Awal kenapa aku bisa memilih Universitas Jenderal Soedirman serta memilih Kesehatan Masyarakat sebagai jurusan yang aku pilih sebagai jalur yang mengantarku kedalam kesuksesanku. Awalnya aku juga tidak terlalu yakin dengan jurusan yang didalamnya laki laki merupakan hal yang minoritas sedangkan perempuan merupakan mayoritas dalam kelas. Aku juga sebenarnya belum tahu benar apa itu kesmas dan apa yang akan dikerjakan bila lulus nanti.


    Motivasi awalku berasal dari mbakku yang juga mengambil jurusan kesehatan masyarakat di Universitas yang sama. Alasan keduaku berasal dari wilayah yang akan aku masuki. Awalnya aku ingin ke kota pelajar yaitu Jogjakarta. Akan tetapi suasana disana bagiku terlalu ramai, setiap hari macet sehingga membuatku kurang nyaman. Kemudian aku mencari Universitas yang menjanjikan tetapi dengan suasana yang kondusif. Akhirnya akuu memutuskn untuk mengambil beberapa jurusan karena aku saat mengikuti SBMPTN. Dan tiga jurusan itu aku mengambil semua di Unsoed. Alhamdulillah aku diterima di Unsoed dengan jurusan Kesmas. Mungkin awalnya aku agak ragu dan canggung. Tetapi kali ini aku yakin. This is my best way from Allah.


    Dan dengan keputusanku itu aku ingin dan sangat ingin untuk ikut serta meninggikan nama almamater Universitas Jendral Soedirman. Banyak hal yang ingin aku ingin berikan dan persembahkan untuk Universitasku. Dimulai dari hal hal kecil yang kita anggap mudah dan akan terus berlanjut hingga kejuaraan tingkat Internasional. Walau hal itu sulit tetapi aku yakin. Aku akan bisa.


    Aku juga pernah berharap mempunyai sebuah wilayah dan tempat untuk menampung orang orang yang tidak mampu kemudian di tempat itu juga terdapat lapangan pekerjaan bagi mereka. Tempat itu dikelola dengan baik dari pembuangan, dan fasiliitas lainnya. Aku sangat berharap apa yang telah aku impikan bisa terwujud setelah aku menimba ilmu di Universitas Jenderal Soedirman.


    Tidak banyak yang bisa saya janjikan tentang apa yang bisa aku berikan kepada Universitas yang mau menjadikanku sebagai anak didiknya. Aku hanya bisa berusaha dengan kemampuan yang telah diberikan Allah kepadaku.
    Autobiografi
    Saya Muhammad Faris Al Ghozi lahir 18 tahun yang lalu di Wonosobo, tepatnya 29 April 1997. Aku terlahir dari kedua orang tua yang begitu hebat, bapak Riyanto serta ibu Laila Wahyuningsih.


    Pendidikan awalku berawal ketika umurku 4 tahun, di sebuah TK islam bernama TK ABA Aisyiyah Bustanul Athfal. Kemudian memulai sekolah di MI Muhammadiyah Kalikajar tahun 2006. Setelah 6 tahun terlewati akhirnya aku masuk dalam sebuah pondok pesantren yang terletak di Kabupaten yang berbeda. Kabupaten Temanggung tepatnya. Pondok Assalaam nama pondoknya. Hal yang paling sulit ketika awal aku beradaptasi disebuah sekolah sekaligus rumah baru bagiku. Kegiatan serta peraturan yang begitu ketat, membuatku sangat tidak nyaman. Rasa ingin keluar dari pondok tersebut selalu membayangiku setiap hari. Tetapi rasa sangat bersalah akan lebih hebat merusak pikiranku jika aku keluar dari sana setelah ingat apa yang telah dikorbankan orang tuaku agar aku bisa masuk kesana.


    Haru demi hari, bulan berganti. Akhirnya 3 tahun aku melewati banyak masalah. Dimarahi, dihukum sudah menjadi kebiasaanku setiap hari. MTs ku tamat akhirnya aku melanjutkan sekolahku ke Pondok yang sudah memberi banyak pelajaran dalam hidupku selama tiga tahun. Masa MA aku lewati dengan rasa tenang, dan masa itu merupakan ajang menunjukkan bakat kita dalam memimpin. Aku dan teman - temanku didapuk untuk mengurus ratusan anak yang juga hidup disana.




    Setelah tiga tahun berlalu, akhirnya sampailah aku dipenghujung masa yang menurut orang merupakan masa yang paling berbunga bunga. Tetapi dari sini perjuanganku baru dimulai. Berawal dari keikutsertaanku dalam tes Penerimaan mahasiswa baru khusus jalur santri. Tes pertama tentang berkas lolos. Dilanjutkan tes tertulis di UIN Sunan Kalijaga Semarang. Aku mengambil jurusan Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta waktu itu. Tetapi, Allah belum memberi rezeki itu kepadaku. Perjuanganku kulanjutkan dengan mendaftar SNNPTN. Karena Universitas serta jurusan yang aku tuju terlalu tinggi untuk nilai nilaiku, akhirnya jurusan itu belum aku dapat. Perjuanganku selanjutnya yaitu ikut mendaftar SBMPTN. Kali ini aku berfikir bahwa mungkin kesehatan sedang aku sukai. Sehingga aku memutuskan untuk mengambil kesehatan. Dan dengan perjuanganku, Alhamdulillah aku bisa diterima di Universitas yang merupakan Universitas terbaik bagiku. Universitas Jenderal Soedirman, dengan Kesehatan Masyarakat.