Hari ini, tepat tanggal 5 September 2015 merupakan hari pertamaku melakukan Btoph di kampus kesmas.
Pagi hari aku terhenyak karena mendengar suara motor yang tiba tiba hidup. Aku takut jika aku bangun kesiangan. Langsung aku cari hpku dan kulihat jam, aku sangat lega, ternyata waktu masih menunjukkan pukul 04.00. Aku langsung mengerjakan beberapa tugas yang malam sebelumnya belum aku selesaikan.
Kemudian aku bergegas mandi pagi.
Sekitar jam 05.45 aku berangkat kerumah temanku untuk mengambil barang barang yang akan ku bawa pada btoph nanti. Beberapa saat kemudian aku sudah sampai dirumahnya. Ternyata teman satu kelompokku belum lengkap. Baru beberapa biji saja yang sudah tampak duduk duduk manis di teras kos.
Jam 06.20 kami semua mulai melangkahkan kaki menyusuri jalan menuju tempat tujuan. Sampai didepan gerbang Kesmas kami semua sudah ditunggu oleh mas mas dan mbak mbak komdis. Setelah masuk dan registrasi ulang di lobby kami langsung ke tempat acara.
Jam 07.00 acara pun dimulai. Dengan dipandu 2 mbak yang manis manis dan cantik cantik, acara dimulai dengan khidmat. Acara pertama diawali dengan pengenalan ISMKMI yang langsung dipandu oleh ketua wilayah ISMKMI mbak Kiki.
Acara dilanjutkan dengan acara kuliah umum yang disampaikan oleh satu Guru besar UI dalam bidang Kesehatan Masyarakat Prof. Dr. dr. Adik Wibowo M.PH. Isi yang disampaikan oleh beliau sangat memotivasi saya, yang dahulu aku sangat ragu dengan jurusan yang hari ini aku ambil. Tetapi semua itu luntur ketika kuliah yang disampaikan beliau, dari pengalaman beliau di WHO selama 15 tahun diberbagai negara, dan beliau bertindak sebagai agen preventif yang benar benar memberi banyak pelajaran. Aku jadi sangat mantap dengan jurusan yang hari iki ku geluti.
Acara dilanjutkan sampai pukul 05.00. Acara diakhiri dengan duka cita.
Malam hari ini aku bersama teman satu angkatanku berlatih untuk terakhir kali penampilanku besok hari.
Sabtu, 05 September 2015
Jumat, 04 September 2015
Beberapa Hari yang lalu aku masih ingat ketika aku harus bangun pagi sekali. Jam 5 pagi aku sudah dalam posisi siap sedia untuk mandi pagi. Sesekali masih mengusap mata menghilangkan "belek" dimataku.
Tepat jam 05.45 aku mempersiapkan diri untuk sarapan pagi. Jam 06.00 aku sudah siap bersama sama teman satu kelompok dan siap "let's go" tempat tujuan kami, Jurusan Kesehatan Masyarakat. Jam 06.30 aku sudah ditunggu mas mas dan mbak mbak untuk melakukan apel pagi.
Acarapun dimulai sekitar jam 7 pagi. Diawali dengan senam pagi bersama mas mas daan mbak mbak tercinta. Diiringi beberapa lagu kamipun mulai beraksi dengan gaya gaya senam yang gila keren abis, mulai dari yang Inggris inggris ampe yang dangdutan.
Selesai senam kami langsung diajak bermain outbond. Dengan dibekali peta kami menyusuri jalan demi jalan untuk mencapai pos yang terletak diberbagai penjuru FIKes. Dengan banyak permainan kami berjuang mendapatkan koin emas. Tetapi apa dikata, kami hanya bisa mengumpukan silver dan perunggu di berbagai pos yang disediakan.
Selesai out bond kami meneruskan acara yaitu pengenalan berbagai UKM yang ada di jurusan Kesehatan Masyarakat, seperti UREA, BESKEM, UKKI, BEM, BLM dan beberapa lainnya.
selain acara pengenalan kamipun diajak untuk berkenalan dengan berbagai hal tentang Kesehatan Masyarakat.
Jam 04.30 kami melakukan apel sore dan acarapun berakhir.
Tepat jam 05.45 aku mempersiapkan diri untuk sarapan pagi. Jam 06.00 aku sudah siap bersama sama teman satu kelompok dan siap "let's go" tempat tujuan kami, Jurusan Kesehatan Masyarakat. Jam 06.30 aku sudah ditunggu mas mas dan mbak mbak untuk melakukan apel pagi.
Acarapun dimulai sekitar jam 7 pagi. Diawali dengan senam pagi bersama mas mas daan mbak mbak tercinta. Diiringi beberapa lagu kamipun mulai beraksi dengan gaya gaya senam yang gila keren abis, mulai dari yang Inggris inggris ampe yang dangdutan.
Selesai senam kami langsung diajak bermain outbond. Dengan dibekali peta kami menyusuri jalan demi jalan untuk mencapai pos yang terletak diberbagai penjuru FIKes. Dengan banyak permainan kami berjuang mendapatkan koin emas. Tetapi apa dikata, kami hanya bisa mengumpukan silver dan perunggu di berbagai pos yang disediakan.
Selesai out bond kami meneruskan acara yaitu pengenalan berbagai UKM yang ada di jurusan Kesehatan Masyarakat, seperti UREA, BESKEM, UKKI, BEM, BLM dan beberapa lainnya.
selain acara pengenalan kamipun diajak untuk berkenalan dengan berbagai hal tentang Kesehatan Masyarakat.
Jam 04.30 kami melakukan apel sore dan acarapun berakhir.
Jumat, 28 Agustus 2015
KIS dan permasalahannya
Kartu
Indonesia Sehat (KIS) menjamin dan memastikan masyarakat kurang mampu
untuk mendapat manfaat pelayanan kesehatan seperti yang dilaksanakan
melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh BPJS
Kesehatan.
Lebih
dari itu, secara bertahap cakupan peserta akan diperluas meliputi
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan bayi yang lahir dari
Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang selama ini tidak dijamin.
KIS
memberikan tambahan manfaat, layanan preventif, promotif dan deteksi
dini yang akan dilaksanakan secara lebih intensif dan terintegrasi.
KIS memberikan jaminan bahwa pelayanan oleh fasilitas kesehatan tidak membedakan peserta berdasarkan status sosial.
Penyelenggara Program adalah BPJS Kesehatan.
Perlu
ditekankan bahwa layanan kesehatan bagi pasien pemegang kartu lain yang
dikeluarkan BPJS berlangsung seperti biasa dengan manfaat yang sama
dengan pemegang Kartu Indonesia Sehat. Penggantian Kartu BPJS menjadi
Kartu Indonesia Sehat akan berlangsung bertahap.
Diatas merupakan sedikit catatan tentang apa itu KIS. Kartu Indonesia Sehat yang selanjutnya saya sebut KIS merupakan kartu yang diharapkan oleh pemerintah khususnya presiden Joko Widodo sebagai andalan dalam pemerintahannya selain Kartu Indonesia Pintar (KIP). Tetapi banyak hal yang membuat kendala lancarnya KIS dalam ranah kesehatan Indonesia.
terkadang banyak rumah sakit yang menolak pebayaran atau menolak merawat pasien yang menggunakan KIS ini. Memang sebelumnya sebelum BPJS menggantikan Askes pun, kartu Askes maupun Jamkesmas yang dikelola askes sering ditolak oleh banyak Rumah Sakit, sampai saat ini pun masalah ini terus terjadi dan terjadi.
Adanya hal tersebut menghambat tujuan baik yang ditawarkan oleh KIS kepada masyarakat yang benar benar kurang mampu. Masyarakat yang tidak mampupun tak bisa berdaya ketika hal tersebut terjadi. Mungkin karena masalah biaya yang berbeda antara orang miskin dengan orang kaya.
dalam berita Metro News disebutkan :
Metrotvnews.com, Jakarta: Kartu Indonesia Sehat (KIS) dikabarkan mendapat penolakan di beberapa rumah sakit daerah. Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa pun menilai peristiwa penolakan itu memang mungkin saja terjadi.
Menurutnya, penolakan itu terjadi karena setiap rumah sakit belum tentu memiliki persediaan dana untuk melayani pasien pengguna KIS.
"Jadi mungkin ada rumah sakit yang dia tidak cukup stock money, sehingga mereka harus mendapatkan jaminan bahwa reimbursenya tidak sulit," kata Khofifah saat ditemui di Kementerian Sosial, Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat, Jumat (7/11/2014).
Khohifah menambahkan, selama ini penolakan banyak terjadi karena kekhawatiran pihak rumah sakit yang bakal mengalami kesulitan saat klaim penggantian dana atau reimburse dana yang telah dikeluarkan rumah sakit untuk melayani pasien dengan bantuan pemerintah kepada pihak BPJS.
"Selama ini, reimburse kan lama, memang kalau reimbursenya lama mereka tidak punya fresh money, tidak bisa untuk layanan berikutnya," ujarnya.
Mantan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak era Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) ini menjelaskan, klaim penggantian dana ini diberikan oleh BPJS sebagai penyelenggara kepada tiap-tiap rumah sakit. "BPJS (yang mengganti reimburse) dananya dari Kemenkes. Karena PBI (penerima bantuan iuran) diiur oleh pemerintah," lanjut dia.
Maka itu, Khofifah mengatakan, Presiden Jokowi telah meminta kepada BPJS sebagai penyelenggara agar dapat memiliki perwakilan sesegera mungkin di setiap kabupaten/kota, serta di setiap rumah sakit supaya proses reimburse mudah dilakukan dan masyarakat dapat terlayani dengan baik.
"Tapi, membuat infrastruktur itu kan tidak bisa bimsalabim, tapi itu yang sudah digarisi Presiden. Dengan begitu maka konsekuensinya adalah mekanisme reimburse itu tidak akan lama," bebernya.
Begitulah kira kira yang terjadi dengan KIS hari ini. Karena uang merupakan segalanya, sehingga masyarakat yang tidak mempunyai uang kan selalu tersisih dan terpinggirkan disegala bidang tak hanya salm kesehatan saja bahkan sampai ke sektor sektor lainya.
#2 Diary
Hari ini merupakan hari kedua ospek fakultas serta menjadi hari yang terakhir, tetapi menjadi awal untuk aku mengikuti ospek jurusan.
Malam hari sebelumnya, aku mengerjakan tugas hingga larut malam, entah jam berapa aku peergi untuk tidur. Yang pasti malam itu sudah lebih dari tengah malam.
Pagi harinya, aku terbangun dengan setengah terkejut karena takut terlalu siang bangunku. Langsung aku mengambil hapeku untuk mengetahui jam. Ternyata jam sudah menunjukkan 05.26. Karena mengetahui bahwa aku kesiangan, langsung aku berlari mengambil handuk dan bergegas mandi.
Jam 06.00 aku sudah berada di rumah temanku bersama dengan teman teman satu kelompok, untuk membagikan barang barang yang akan aku pergunakan untuk osmb btoph atau lebih familiar disebut dengan ospek jurusan.
Karena ketentuan mengatakan aku harus datang pukul 06.30, aku dengan teman satu kelompokku langsung bergegas untuk berangkat ke fakultas keperawatan. Ternyata setelah sampai sana kami mendapati teman teman kami sedang asik duduk didepan fakultas keperawatan. Sekitar jam 07.00 kami dibariskan dan dipersilahkan untuk duduk masuk keruangan guna mengikuti osfak yang terakhir.
Setelah beberapa pemateri mengisi. Akhirnya acara selesai pukul 11.15. Acara dilanjutkan dengan sholat Jumat berjamaah.
Acara sesungguhnya baru dimulai. Setelah sholat Jumat ditunaikan. Kami langsung diajak ke lobi jurusan kesehatan masyarakat, berbaris sesuai kelompok kemudian dikomando agar duduk disitu juga. Setelah beberapa saat setelah berkumpul semua, makanan yang sudah disiapkan dibagi satu satu. Waktu yang disediakan panitia untuk kami makan yaitu sekitar 7 menit. Bak singa kelaparan kamipun bergegas dalam memakan makanan yang disediakan.
Setelah makan selesai kami melakukan upacara opening ceremony osmb btoph 2015. Setelah upacara selesai. Kami langsung digiring ke ruang pertemuan yang telah disediakan. Setelah jam menunjukkan pukul 16.30, kami melakukan apel sore.
kami memutuskan untuk pulang dan meneruskan tugas yang telah diberikan oleh panitia.
Malam hari sebelumnya, aku mengerjakan tugas hingga larut malam, entah jam berapa aku peergi untuk tidur. Yang pasti malam itu sudah lebih dari tengah malam.
Pagi harinya, aku terbangun dengan setengah terkejut karena takut terlalu siang bangunku. Langsung aku mengambil hapeku untuk mengetahui jam. Ternyata jam sudah menunjukkan 05.26. Karena mengetahui bahwa aku kesiangan, langsung aku berlari mengambil handuk dan bergegas mandi.
Jam 06.00 aku sudah berada di rumah temanku bersama dengan teman teman satu kelompok, untuk membagikan barang barang yang akan aku pergunakan untuk osmb btoph atau lebih familiar disebut dengan ospek jurusan.
Karena ketentuan mengatakan aku harus datang pukul 06.30, aku dengan teman satu kelompokku langsung bergegas untuk berangkat ke fakultas keperawatan. Ternyata setelah sampai sana kami mendapati teman teman kami sedang asik duduk didepan fakultas keperawatan. Sekitar jam 07.00 kami dibariskan dan dipersilahkan untuk duduk masuk keruangan guna mengikuti osfak yang terakhir.
Setelah beberapa pemateri mengisi. Akhirnya acara selesai pukul 11.15. Acara dilanjutkan dengan sholat Jumat berjamaah.
Acara sesungguhnya baru dimulai. Setelah sholat Jumat ditunaikan. Kami langsung diajak ke lobi jurusan kesehatan masyarakat, berbaris sesuai kelompok kemudian dikomando agar duduk disitu juga. Setelah beberapa saat setelah berkumpul semua, makanan yang sudah disiapkan dibagi satu satu. Waktu yang disediakan panitia untuk kami makan yaitu sekitar 7 menit. Bak singa kelaparan kamipun bergegas dalam memakan makanan yang disediakan.
Setelah makan selesai kami melakukan upacara opening ceremony osmb btoph 2015. Setelah upacara selesai. Kami langsung digiring ke ruang pertemuan yang telah disediakan. Setelah jam menunjukkan pukul 16.30, kami melakukan apel sore.
kami memutuskan untuk pulang dan meneruskan tugas yang telah diberikan oleh panitia.
Senam Kami
Sore setelah acara PKKM kami team dari jurusan Kesehatan Masyarakat memutuskan untuk berkumpul di sebuah lapangan yang cukup luas.sore itu 120an orang berkumpul dalam satu tempat untuk berlatih senam yang ditugaskan oleh Mbak dan Mas pembimbing kami. Awalnya lumayan sulit ketika satu sama lain belum terlalu kenal. mungkin karena masih canggung, sehingga butuh waktu beberapa saat hingga kami bisa berbaris dan bersiap untuk melakukan latihan senam.
Dipimpin oleh seorang cewek yang bahkan saya jujur belum mengenalnya, alunan musik yang berputar memulai gerakan senam kami.setiap lagu yang terlewati semakin asyik. walaupun matahari secara perlahan meredup dan mulai memasuki tempat tidurnya.
setelah kira kira 15 menit berlalu, senampun selesai. Akhirnya kami berfoto bersama, tanda kenang kenangan untuk kegiatan yang bisa dibilang cukup melelahkan.
Dipimpin oleh seorang cewek yang bahkan saya jujur belum mengenalnya, alunan musik yang berputar memulai gerakan senam kami.setiap lagu yang terlewati semakin asyik. walaupun matahari secara perlahan meredup dan mulai memasuki tempat tidurnya.
setelah kira kira 15 menit berlalu, senampun selesai. Akhirnya kami berfoto bersama, tanda kenang kenangan untuk kegiatan yang bisa dibilang cukup melelahkan.
Biostatisktika
BIOSTATISTIK ( Pengertian dan Jenis Data )
2.5.1 Jenis Data
Data yang diperoleh dari suatu sampel dan populasi dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu :
a. Data kualitatif yakni data yang bukan berupa angka (non – numerik) biasa disebut dengan istilah atribut.
b. Data kuantitatif: data yang berupa angka (numerik). Data jenis ini dibedakan menjadi dua bagian, yaitu data diskrit dan kontinyu.
Selain
pembagian tersebut, ada yang membagi data menjadi data primer dan data
sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari
sumbernya, misal melalui wawancara, penyebaran kuesioner, pengukurn
langsung, dan lain lain. Sedangkan data sekunder adalah data yang
diambil/ disadur dari pihak lain, misal diambil dari koran, jurnal,
penelitian/ publikasi pihak lain, dan lain-lain.
2.5.2 Skala Pengukuran
Skala pengukuran : cara mengukur suatu varibel. Terdapat 4 jenis skala pengukuran, yakni :
a. Skala
Nominal : angka yang diberikan pada objek/ variabel pengukuran hanya
memiliki arti sebagai label saja (asal bisa dibedakan). Tidak memiliki
tingkatan.
Contoh skala nominal :
No.
|
Jenis Kendaraan
|
Jumlah (Unit)
|
1.
|
Peugeuot
|
1,367
|
2.
|
Toyota
|
68,638
|
3.
|
Isuzu
|
20,521
|
4.
|
Daihatsu
|
15,721
|
5.
|
BMW
|
1,515
|
b. Skala Ordinal : angka yang diberikan pada objek/ variabel pengukuran mengandung pengertian tingkatan.
Contoh skala ordinal:
No.
|
Jenis Kendaraan
|
Jumlah (Unit)
|
1.
|
Toyota
|
68,638
|
2.
|
Isuzu
|
20,521
|
3.
|
Daihatsu
|
15,721
|
4.
|
BMW
|
1,515
|
5.
|
Peugeuot
|
1,367
|
c. Skala Interval : angka yang diberikan pada objek/ variabel pengukuran mengandung sifat ordinal ditambah sifat jarak/ interval.
Contoh skala interval :
Suhu
udara dapat berkisar antara -4° hingga 40° C. Jika termometer
menunjukkan 0° C, bukan berarti tidak ada suhu, tetapi hanya sebagai
penunjuk bahwa suhu saat itu tergolong rendah.
d. Skala
Rasio : angka yang diberikan pada objek/ variabel pengukuran mengandung
sifat interval ditambah sifat yang mampu memberikan keterangan tentang
nilai absolut variabel yang diukur. Artinya apabila menunjuk angka 0
(nol), maka berarti benar-benar nol, tidak ada, atau kosong.
Contoh skala rasio :
Jumlah komponen mesin yang diproduksi per batch adalah 1.000.000 komponen. Bila dalam suatu batch menunjukkan angka produksi 0, maka artinya adalah pada saat itu tidak dilakukan proses produksi sehingga tidak ada output produksi.
sumber : http://ikm-biostatistik.blogspot.com/p/biostatistik-pengertian-dan-jenis-data.html
Health International Journal
Eradication and elimination: facing the challenges, tempering expectations
The words eradication, elimination and control have been regularly defined in attempts to avoid inappropriate use of terminology
while addressing the realities and challenges of public health programmes.1,2
Whitty3
has recently outlined the dangers of raising expectations in the face
of political, financial, biological and logistical
efforts of eradication or elimination programmes,
emphasising these risks in search of a holy grail. Bockarie et al.4
noted five categories that defined the elimination or endgame
challenges—biological, socio-geographic, logistic, strategic
and technical—providing examples from current
programmes. These have created significant strategic and resource
impediments
to progress in implementation, requiring changes in
approach often with significant financial implications.
A variety of strategies are used to reduce
incidence and prevalence of infectious diseases: vaccination (smallpox,
polio,
measles), chemotherapy (onchocerciasis, lymphatic
filariasis, schistosomiasis), vector control, (onchocerciasis, malaria,
schistosomiasis) and provision of improved clean
water and sanitation (trachoma, guinea worm, soil transmitted helminths,
schistosomiasis). Such strategies are more
effective when combined, for example, chemotherapy, vector control and
behaviour
change, thereby achieving proportionately greater
and more rapid impact on transmission.
Eradication as a concept is specifically
defined as a reduction to zero global incidence of a specific pathogen,
not a disease,
which results from such an infection. This
represents a crucial distinction—the words disease and infection are
often used
interchangeably but incorrectly. Even WHO reporting
recently on the yaws programme in India entitled their publication
‘Eradication
of yaws in India.’ Thus, even WHO are unable to
consistently use correct terminology. Another example is the call for
the
eradication of malaria. However, eradication is
defined as the removal from the planet of a specific infection; raising
the
question, which of the five human species of Plasmodium is to be targeted? This is yet to be specified.
If an organism, such as the smallpox
virus, is maintained in the laboratory then the infection is considered
eradicated but
it is not extinct. In the case of smallpox, the
virus was maintained in the USA and the Soviet Union (Russia). A global
certification
process is required for those organisms targeted
for eradication and a Declaration of Global Eradication is required from
WHO.
For Dracunculiasis (guinea worm disease),
an independent body, the International Commission for the Certification
of Dracunculiasis
Eradication, was established to oversee the process
to conform with WHO's legal obligations through World Health Assembly
resolutions. Members are appointed by the Director
General of WHO to assess the validity of the evidence that transmission
of Dracunculus medinensis has been achieved in previously endemic countries. Countries with no evidence of infection are required to submit a statement
that transmission does not take place.5
Countries that have been certified following scrutiny of the evidence
presented require a visit to validate the information
provided to WHO by an independent certification
team. If certified, countries are required to maintain vigilance that
they
remain transmission free through continued
surveillance and maintenance of a rumour register. Any rumour should be
investigated
within 24 hours of being reported and the national
reward system to do this should be continued. The responsibility for
‘proving
a negative’ is a significant one if the target is
global eradication or country or regional elimination. Evidence must be
robust with regular assessments and surveillance
for at least 3 years after the interventions have stopped.
The smallpox programme in its final stages
introduced a global reward of US$1000 to report any suspected case.
Such a system
will need to be established for guinea worm when
all countries have been certified free of transmission. To date, some
194
countries and territories have been certified free
of transmission. There remain four Guinea worm endemic countries: Chad,
Ethiopia, Mali and South Sudan. The challenges of
the endgame and the costs of driving transmission to zero country
incidence
are exemplified3,4
in high unit costs per case detected, in remote settings where health
systems are weak, where surveillance and communication
a challenge, and where civil unrest and conflict
prevail. The recent experience of the polio eradication programme in
Pakistan
testifies to the security challenges.
UN access to endemic areas may not be
permitted for security reasons potentially preventing certification to
validate the
situation on the ground. Proving a negative to the
satisfaction of an independent body will be a challenge despite the
remarkable
gains made in the guinea worm programme to date,
with the two most endemic countries, Ghana and Nigeria, recently
certified
as free of transmission.6 The question of the use of the term ‘eradication’ following the findings of dogs infected with D. medinensis in Chad,7
and the possibility that the infection can be transmitted without the
human host involvement, poses significant problems
in confirming global eradication. In addition,
post-intervention surveillance periods are necessary prior to any final
assessment
by an independent body to verify absence of
transmission. The assessments required to provide sufficient evidence
that transmission
has been arrested are potentially expensive when
needed at scale and in all previously endemic countries.
Elimination is defined in a geographical
context where transmission has been verified as having been arrested in a
defined
geographic location. Previously, eradication has
been inappropriately used to define this situation. Most recent examples
of achievements in verification of the absence of
transmission are Onchocerca volvulus in Colombia and Ecuador,8
while Mexico and Guatemala are documenting similar achievements through
dossiers submitted to the Pan American Health Organization
(PAHO). The remaining endemic countries in this
region, Brazil and Ecuador, if regional elimination is to be declared,
have
to ensure that the remote Yanomami communities on
the border areas are accessible for regular ivermectin treatment,
preferably
more than once a year, or are treated with the
macrofilaricide, doxycyline. The Yanomami endemic area illustrates the
challenge
of reaching remote communities where access is
limited, where communities are migratory and health services sparse or
non-existent.
The African Programme for Onchocerciasis
Control (APOC) changed its objective from control to elimination after
it was demonstrated
that transmission could be reduced if sustained
high coverage of annual ivermectin treatment could be achieved over a
period
of 15–17 years in Senegal and Mali9 and in Kaduna State, Nigeria.10 However, the aspiration to eliminate transmission of O. volvulus
throughout all endemic areas of Africa requires extension of programmes
into areas not previously treated. The change from
a highly successful control programme to one of
elimination emphasises the increased costs of going the last mile in a
greatly
expanded programme. Will the costs of expansion of
long-term treatment and of verifying that transmission has been arrested
in some of the more remote and inaccessible parts
of Africa over the long-term be sustainable? Proving to the satisfaction
of an independent body that there is zero
transmission over all the endemic areas of Africa has long-term
financial, coordination
and human resource implications.
Lymphatic filariasis has been verified as
eliminated in China and South Korea some 15 years ago. In China this
followed several
decades of interventions of chemotherapy and vector
control. The current programme for the elimination of lymphatic
filariasis
as a public health problem has also achieved
significant gains, providing evidence that transmission has been
arrested in
several countries thereby ensuring that no clinical
cases will emerge following the cessation of mass drug administration.
Again the challenge of obtaining the requisite
evidence at scale globally will be a financial and logistic challenge
based
on the need to verify in 70+ endemic countries that
transmission, the key parameter of success, has been arrested even if
the public health problem has been alleviated.
The use of the term ‘as a public health problem’ has been addressed3
in the case of the leprosy elimination programme. Success in the use of
multi-drug therapy to reduce the public health problem
in many countries has resulted in the perception
that there remains a limited problem despite the large number of cases
that
remain in highly populous countries such as India.
The definition of a public health problem is a subjective view and the
parameters for such a definition dependent on
expert opinion. While the desire to eliminate local transmission in
perpetuity
can be achieved in certain isolated geographic
settings, the balance between true elimination and elimination of a
public
health problem will continue to be debated. The
availability of interventions and, often, donated drugs to impact on the
health
of the poor should not be a reason for avoiding
responsibility to provide resources to implement activities that will
have
a significant public health impact despite the fact
the ultimate goal of total transmission control is difficult to
achieve.
The term eradication has been used to
describe success in several isolated, often island, settings. More
correctly, elimination
should be the term applied. Examples of attempts at
elimination of cystic hydatid disease to reduce human incidence of Echinococcus granulosus
from Iceland in the 1800s, Cyprus, Tasmania, the Falkland Islands and
New Zealand provide an insight into the application
of a range of measures to prevent transmission.
Dogs were prevented from access to sheep offal and purged to remove
tapeworms,
destruction of cyst-infected sheep carcasses
instituted and extensive health education campaigns.11 All these island programmes were carried out over a period of decades, with New Zealand and Tasmania declaring provisionally
they were free of hydatid disease in 2002. The elimination of the transmission of O. volvulus on the island of Bioko, following vector control of the Bioko form of Simulium yahense, has also been achieved.12 However, given that in Bioko S. yahense was a unique cytoform, it can be claimed that not only was elimination of transmission achieved but also extinction of a
unique vector form.
The debate around issues of eradication
and elimination will continue. However, although the challenges are
well-defined,
the spectrum of these challenges, given they will
play out over the long duration of programmes, will need continuous
responses
by the many stakeholders who have invested in them.
The complexities of eradication and elimination and the public health
policy issues generated require a deep
understanding of the many dimensions that confront decision makers. As
programmes evolve
and complexities increase,13
the dynamic of changing biological, ecological and political scenarios
over long periods of time demand an inbuilt flexibility
and capacity to respond. The necessary response to
these inevitable challenges requires vision, finance and commitment by
the stakeholders of these programmes. Removing the
last filarial worm or gametocyte in remote and insecure settings, and
verifying
to the scientific community that the evidence is
sufficiently robust to declare eradication or elimination has been
achieved,
seems optimistic given the constraints identified
and the biological capacity of our targets to challenge us. The
objectives
of eradication or elimination are laudable but
prove costly. We should recognise that solving a public health problem
is indeed
a significant benefit, which has been achieved in
many settings, and that the search for the holy grail may take longer
than
expected.
source : http://inthealth.oxfordjournals.org/content/7/5/299.full
DR. Moestopo
BIOGRAFI MAYJEN PROF. MOESTOPO
Mayor Jenderal Professor Moestopo (lahir di Ngadiluwih, Kediri, Jawa Timur, 13 Juli 1913 – meninggal di Bandung, Jawa Barat, 29 September 1986 pada umur 73 tahun) adalah seorang dokter gigi Indonesia, pejuang kemerdekaan, dan pendidik. Dia dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal 9 November 2007.
Lahir di Kediri, Jawa Timur, Moestopo pindah ke Surabaya untuk menghadiri Sekolah Kedokteran Gigi di sana. Pada awalnya menjadi seorang praktisi, karyanya terputus pada tahun 1942 ketika Jepang menduduki Indonesia dan Moestopo ditangkap oleh Kempeitai untuk mencari mencurigakan. Setelah dibebaskan, ia menjadi dokter gigi untuk Jepang tapi akhirnya memutuskan untuk melatih sebagai seorang perwira tentara. Setelah lulus dengan pujian, Moestopo diberi komando PETA pasukan di Sidoarjo, ia kemudian dipromosikan menjadi komandan pasukan di Surabaya.
Sementara di Surabaya, selama Indonesia Revolusi Nasional Moestopo ditangani dengan pasukan ekspedisi Inggris yang dipimpin oleh Brigadir Walter Sothern Mallaby Aubertin. Ketika hubungan rusak dan Presiden Soekarno dipanggil ke Surabaya untuk memperbaiki mereka, Moestopo ditawari pekerjaan sebagai penasihat tapi ditolak. Selama perang ia menjabat beberapa posisi lainnya, termasuk memimpin satu skuadron tentara reguler, pencopet, dan pelacur untuk menyebarkan kebingungan di jajaran pasukan Belanda musuh. Setelah perang, Moestopo terus bekerja sebagai dokter gigi, dan pada tahun 1961 ia mendirikan Universitas Moestopo. Dia meninggal di Bandung pada tahun 1986.
Awal kehidupan dan kedokteran gigi
Moestopo lahir di Ngadiluwih, Kediri, Jawa Timur, Hindia Belanda pada tanggal 13 Juli 1913. Dia adalah anak keenam dari delapan bersaudara yang lahir Raden Koesoemowinoto. Setelah sekolah dasar nya, Moestopo pergi ke Sekolah Kedokteran Gigi (STOVIT) di Surabaya. Pendidikannya awalnya dibayar oleh saudara tuanya, Moestopo kemudian mengambil untuk menjual beras untuk mendapatkan jalan melalui universitas. Mengambil pendidikan lanjutan di lapangan di Surabaya dan Yogyakarta, pada tahun 1937 ia menjadi asisten dokter gigi di Surabaya. Dari 1941-1942, ia menjadi asisten direktur STOVIT.
Setelah perang, Moestopo pindah ke Jakarta, di mana dia menjabat sebagai Kepala Bagian Bedah Rahang di Rumah Sakit Angkatan Darat (sekarang RSPAD Gatot Subroto Militer). Pada tahun 1952, Moestopo mulai pelatihan dokter gigi lain di off waktu dari rumahnya, memberikan pelatihan dasar dalam kebersihan, gizi, dan anatomi. Sementara itu, ia berada di bawah pertimbangan untuk posisi Menteri Pertahanan untuk Wilopo Kabinet, tetapi akhirnya tidak dipilih, melainkan, ia memimpin serangkaian demonstrasi menentang sistem parlementer.
Moestopo diformalkan saja kedokteran gigi rumahnya pada tahun 1957, dan pada tahun 1958 - setelah pelatihan di Amerika Serikat - ia mendirikan Dr Moestopo Gigi College, yang ia terus mengembangkannya sampai menjadi sebuah universitas pada 15 Februari 1961. Pada tahun yang sama, ia menerima gelar doktor dari Universitas Indonesia.
Moestopo meninggal pada 29 September 1986 dan dimakamkan di Pemakaman Cikutra, Bandung.
Berikut adalah segelintir penghargaan yang beliau dapatkan, Dari Pemerintah Republik Indonesia.
1.Sebagai Pahlawan Nasional
2.Bintang Maha Putra Utama Republik Indonesia.
3.Bintang Gerilya
4.Bintang Sewindu Angkatan Perang Republik Indonesia.
5.Satya Lencana Kemerdekaan 1945 Republik Indonesia
6.Satya Lencana Prajurit Setia VII.
7.Satya Lencana Sapta Marga.
8.Satya Lencana Perang Kemerdekaan I.
9.Satya Lencana Perang Kemerdekaan II.
10.Satya Lencana Gerakan Operasi Militer (GOM) I.
11.Satya Lencana Gerakan Operasi Militer (GOM) II.
12.Satya Lencana Gerakan Operasi Militer (GOM) III
13.Satya Lencana Gerakan Operasi Militer (GOM) IV.
14.satya Lencana Dwidja Sistha dari Menhankam RI.
15.Satya Lencana Satya dari UNPAD.
16.Bintang Karya Bhakti dari UPDM(B)
17.Satya Lencana Badan Keamanan Rakyat.
Dari Luar Negeri.
1.Dari Pemerintah Yugoslavia : Yogoslavenska Narodna Armija (Non Blok)
2.Dari Pemerintah Jerman Barat : Um Internationale Fur Verdienste Partnershaft (Liberal).
Masyarakat Internasional : Lion International (dalam bidang sosial).
Mayor Jenderal Professor Moestopo (lahir di Ngadiluwih, Kediri, Jawa Timur, 13 Juli 1913 – meninggal di Bandung, Jawa Barat, 29 September 1986 pada umur 73 tahun) adalah seorang dokter gigi Indonesia, pejuang kemerdekaan, dan pendidik. Dia dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal 9 November 2007.
Lahir di Kediri, Jawa Timur, Moestopo pindah ke Surabaya untuk menghadiri Sekolah Kedokteran Gigi di sana. Pada awalnya menjadi seorang praktisi, karyanya terputus pada tahun 1942 ketika Jepang menduduki Indonesia dan Moestopo ditangkap oleh Kempeitai untuk mencari mencurigakan. Setelah dibebaskan, ia menjadi dokter gigi untuk Jepang tapi akhirnya memutuskan untuk melatih sebagai seorang perwira tentara. Setelah lulus dengan pujian, Moestopo diberi komando PETA pasukan di Sidoarjo, ia kemudian dipromosikan menjadi komandan pasukan di Surabaya.
Sementara di Surabaya, selama Indonesia Revolusi Nasional Moestopo ditangani dengan pasukan ekspedisi Inggris yang dipimpin oleh Brigadir Walter Sothern Mallaby Aubertin. Ketika hubungan rusak dan Presiden Soekarno dipanggil ke Surabaya untuk memperbaiki mereka, Moestopo ditawari pekerjaan sebagai penasihat tapi ditolak. Selama perang ia menjabat beberapa posisi lainnya, termasuk memimpin satu skuadron tentara reguler, pencopet, dan pelacur untuk menyebarkan kebingungan di jajaran pasukan Belanda musuh. Setelah perang, Moestopo terus bekerja sebagai dokter gigi, dan pada tahun 1961 ia mendirikan Universitas Moestopo. Dia meninggal di Bandung pada tahun 1986.
Awal kehidupan dan kedokteran gigi
Moestopo lahir di Ngadiluwih, Kediri, Jawa Timur, Hindia Belanda pada tanggal 13 Juli 1913. Dia adalah anak keenam dari delapan bersaudara yang lahir Raden Koesoemowinoto. Setelah sekolah dasar nya, Moestopo pergi ke Sekolah Kedokteran Gigi (STOVIT) di Surabaya. Pendidikannya awalnya dibayar oleh saudara tuanya, Moestopo kemudian mengambil untuk menjual beras untuk mendapatkan jalan melalui universitas. Mengambil pendidikan lanjutan di lapangan di Surabaya dan Yogyakarta, pada tahun 1937 ia menjadi asisten dokter gigi di Surabaya. Dari 1941-1942, ia menjadi asisten direktur STOVIT.
Setelah perang, Moestopo pindah ke Jakarta, di mana dia menjabat sebagai Kepala Bagian Bedah Rahang di Rumah Sakit Angkatan Darat (sekarang RSPAD Gatot Subroto Militer). Pada tahun 1952, Moestopo mulai pelatihan dokter gigi lain di off waktu dari rumahnya, memberikan pelatihan dasar dalam kebersihan, gizi, dan anatomi. Sementara itu, ia berada di bawah pertimbangan untuk posisi Menteri Pertahanan untuk Wilopo Kabinet, tetapi akhirnya tidak dipilih, melainkan, ia memimpin serangkaian demonstrasi menentang sistem parlementer.
Moestopo diformalkan saja kedokteran gigi rumahnya pada tahun 1957, dan pada tahun 1958 - setelah pelatihan di Amerika Serikat - ia mendirikan Dr Moestopo Gigi College, yang ia terus mengembangkannya sampai menjadi sebuah universitas pada 15 Februari 1961. Pada tahun yang sama, ia menerima gelar doktor dari Universitas Indonesia.
Moestopo meninggal pada 29 September 1986 dan dimakamkan di Pemakaman Cikutra, Bandung.
Berikut adalah segelintir penghargaan yang beliau dapatkan, Dari Pemerintah Republik Indonesia.
1.Sebagai Pahlawan Nasional
2.Bintang Maha Putra Utama Republik Indonesia.
3.Bintang Gerilya
4.Bintang Sewindu Angkatan Perang Republik Indonesia.
5.Satya Lencana Kemerdekaan 1945 Republik Indonesia
6.Satya Lencana Prajurit Setia VII.
7.Satya Lencana Sapta Marga.
8.Satya Lencana Perang Kemerdekaan I.
9.Satya Lencana Perang Kemerdekaan II.
10.Satya Lencana Gerakan Operasi Militer (GOM) I.
11.Satya Lencana Gerakan Operasi Militer (GOM) II.
12.Satya Lencana Gerakan Operasi Militer (GOM) III
13.Satya Lencana Gerakan Operasi Militer (GOM) IV.
14.satya Lencana Dwidja Sistha dari Menhankam RI.
15.Satya Lencana Satya dari UNPAD.
16.Bintang Karya Bhakti dari UPDM(B)
17.Satya Lencana Badan Keamanan Rakyat.
Dari Luar Negeri.
1.Dari Pemerintah Yugoslavia : Yogoslavenska Narodna Armija (Non Blok)
2.Dari Pemerintah Jerman Barat : Um Internationale Fur Verdienste Partnershaft (Liberal).
Masyarakat Internasional : Lion International (dalam bidang sosial).
Kamis, 27 Agustus 2015
KB dan permasalahannya
Permasalahan KB di Indonesia
KB atau yang disebut keluarga berencana adalah salah satu program pemerintah dalam bidang kesehatan masyarakat yang ditunjukkan untuk keluarga - keluarga Indonesia. Program ini ditunjukkan untuk pembatasan jumlah anak untuk membatasi jumlah penduduk Indonesia yang semakin meningkat. KB (keluarga berencana) juga merupakan upaya mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas.
Banyak jenis – jenis KB yang terdapat di Indonesia misalnya seperti kontrasepsi tanpa alat (pil Kb ataupun pemotongan atau pengikatan saluran telur dan sperma) dan kontrasepsi dengan alat (spiral dan keluarga berencana) , KB juga terbukti aman untuk digunakan bila pemakai mengerti bagaimana cara menggunakan dan mengatur penggunaan KB tersebut, sehingga KB sangat aman dan bermanfaat bagi orang tua yang belum ingin memiliki anak ataupun menunda kehamilan tak terduga.
Tetapi, di Indonesia KB belum efektif digunakan oleh masyarakat di seluruh di Indonesia, terutama daerah – daerah di pelosok di Indonesia yang belum mengerti atau belum bisa mendapatkan KB, sedangkan di daerah pelosok atau di desa – desa masih menerapkan banyak anak, banyak rezeki.
Indonesia memang tidak mewajibkan semua penduduknya untuk harus mengikuti Program KB (keluarga berencana) ini. Namun, Indonesia hanya sebatas menganjurkannya tanpa aturan yang jelas. Oleh karena itu, Program ini kurang efektif untuk pengendalian jumlah penduduk sehingga jumlah penduduk indonesia masih meningkat pesat.
Hanya sebagian orang – orang yang sadar akan masalah kebaikan KB ini, banyak masyarakat yang belum mengetahui keuntungan dan kegunaan KB, sedangkan KB sangat berguna untuk menghambat pertumbuhan anak yang banyak dan tidak terkendali. Kurangnya penyuluhan dan pembelajaran tentang KB di Indonesia membuat masyarakat buta akan pengetahuan tentang KB tersebut.
Lalu bagaimanakah solusi yang tepat untuk mengatur dan menerapkan KB di Indonesia ? banyak solusi yang akan kita peroleh ntuk mengatasi persoalan berikut :
1. Mengadakan penyuluhan
Mengadakan penyuluhan akan pengetauan KB di pelosok daerah – daerah di Indonesia maupun di desa – desa terpencil yang belum mengetahui manfaat dari KB, dengan mengadakan penyuluhan, masyarakat indonesia mengerti akan manfaat KB dan memiliki rasa kepedulian akan ekonomi mereka bila memiliki anak banyak.
2. Memberikan promosi KB gratis
Pemerintah bisa mengadakan promosi KB gratis agar masyarakat tertarik dan mau melakukan KB. Dengan gratisnya KB masyarakat tidak perlu untuk mengeluarkan biaya, terutama bagi masyarakat yang memang tidak memiliki biaya untuk membeli alat KB yang mungkin bisa terbilag mahal bagi kalangan masyarakat kebawah.
3. Menerapkan 2 anak lebih baik
Dengan menerapkan pemikiran positif tersebut masyarakat akan memiliki pemikiran yang baik dalam mengelola keluarga dan mengatur kehamilan maupun kelahiran seorang anak, dan mereka mengerti akan manfaat program KB tersebut dengan menerapkan memiliki 2 anak akan lebih baik untuk pembiayaan ekonomi dan kedepannya, sehingga biaya yang lain bisa digunakan untuk pembiayaan pendidikan maupun pembiayaan lainnya.
4. Memberikan peraturan untuk membatasi kelahiran anak
Dengan memberikan peraturan tersebut, masyarakat akan mematuhi peraturan tersebut, dan menunda kehamilan atau mecegah kehamilan berikutnya, tetapi solusi ini hanya dapat digunakan bila masyarakat belum terlanjur memiliki anak lebih dari dua, bila sudah terlanjur memiliki anak lebihh dari dua, maka anak selanjutnya akan diberikan tunjangan biaya yang mahal atau yang disebut anak swasta yang tidak dapat pembiayaan dari pemerintah.
#1 Diary
haaaaahh... Dengan mengusap mataku peerlahan aku membuka handphoneku dan ternyata jam menunjukkan 04.00. Dengan sedikit terhuyung huyung aku bangun dari tidurku pergi menuju kamar mandi untuk cuci muka dan mengambil air wudlu. Jam 04.30 muadzin mengumandangkan suara indahnya.
Jam 05.00 aku bergegas untuk mandi dan bersiap siap untuk hari ini. Baju putih lengan panjang, celana hitam, dasi hitam, jas almamater beserta topi sudah menyelimuti tubuhku pagi itu. Jam 06.00 aku sarapan walau dengan makanan bungkus dipinggir jalan. Hari ini akan menjadi hari yang panjang untukku.
Setelah membaca line di grup agar sampai di lokasi jam 06.30, aku langsung bergegas untuk berangkat ke lokasi. Melihat fakultas lainya sudah baris dengan rapi. Aku langsung mempercepat langkahku agar cepat sampai tujuan.
Beruntung, ternyata fakultasku belum mulai untuk berbaris. Tetapi teman teman satu kelompokku sudah siap sedia menggunakan jas almamater.
Setelah beberapa menit menunggu teman satu kelompokku, aku dan teman temanku mulai masuk ke arena upacara. Beberapa saat kemudian dilakukan gladi bersih sebelum upacara dilakukan. Upacara hari ini di pimpin oleh Dekan Fikes.
Setelah upacara selesai, kami diajak menuju ruang yang telah ditentukan untuk mendapat berbagai materi dari pemateri pemateri dari fakultas ilmu ilmu kesehatan itu sendiri.
Jam 16.50 kami semua selesai mengikuti pkkmb. Sore hari sampai malamnya kami mengerjakan tugas kelompok lagi.
Jam 05.00 aku bergegas untuk mandi dan bersiap siap untuk hari ini. Baju putih lengan panjang, celana hitam, dasi hitam, jas almamater beserta topi sudah menyelimuti tubuhku pagi itu. Jam 06.00 aku sarapan walau dengan makanan bungkus dipinggir jalan. Hari ini akan menjadi hari yang panjang untukku.
Setelah membaca line di grup agar sampai di lokasi jam 06.30, aku langsung bergegas untuk berangkat ke lokasi. Melihat fakultas lainya sudah baris dengan rapi. Aku langsung mempercepat langkahku agar cepat sampai tujuan.
Beruntung, ternyata fakultasku belum mulai untuk berbaris. Tetapi teman teman satu kelompokku sudah siap sedia menggunakan jas almamater.
Setelah beberapa menit menunggu teman satu kelompokku, aku dan teman temanku mulai masuk ke arena upacara. Beberapa saat kemudian dilakukan gladi bersih sebelum upacara dilakukan. Upacara hari ini di pimpin oleh Dekan Fikes.
Setelah upacara selesai, kami diajak menuju ruang yang telah ditentukan untuk mendapat berbagai materi dari pemateri pemateri dari fakultas ilmu ilmu kesehatan itu sendiri.
Jam 16.50 kami semua selesai mengikuti pkkmb. Sore hari sampai malamnya kami mengerjakan tugas kelompok lagi.
Why I Choose This?
Awal kenapa aku bisa memilih Universitas Jenderal Soedirman serta memilih Kesehatan Masyarakat sebagai jurusan yang aku pilih sebagai jalur yang mengantarku kedalam kesuksesanku. Awalnya aku juga tidak terlalu yakin dengan jurusan yang didalamnya laki laki merupakan hal yang minoritas sedangkan perempuan merupakan mayoritas dalam kelas. Aku juga sebenarnya belum tahu benar apa itu kesmas dan apa yang akan dikerjakan bila lulus nanti.
Motivasi awalku berasal dari mbakku yang juga mengambil jurusan kesehatan masyarakat di Universitas yang sama. Alasan keduaku berasal dari wilayah yang akan aku masuki. Awalnya aku ingin ke kota pelajar yaitu Jogjakarta. Akan tetapi suasana disana bagiku terlalu ramai, setiap hari macet sehingga membuatku kurang nyaman. Kemudian aku mencari Universitas yang menjanjikan tetapi dengan suasana yang kondusif. Akhirnya akuu memutuskn untuk mengambil beberapa jurusan karena aku saat mengikuti SBMPTN. Dan tiga jurusan itu aku mengambil semua di Unsoed. Alhamdulillah aku diterima di Unsoed dengan jurusan Kesmas. Mungkin awalnya aku agak ragu dan canggung. Tetapi kali ini aku yakin. This is my best way from Allah.
Dan dengan keputusanku itu aku ingin dan sangat ingin untuk ikut serta meninggikan nama almamater Universitas Jendral Soedirman. Banyak hal yang ingin aku ingin berikan dan persembahkan untuk Universitasku. Dimulai dari hal hal kecil yang kita anggap mudah dan akan terus berlanjut hingga kejuaraan tingkat Internasional. Walau hal itu sulit tetapi aku yakin. Aku akan bisa.
Aku juga pernah berharap mempunyai sebuah wilayah dan tempat untuk menampung orang orang yang tidak mampu kemudian di tempat itu juga terdapat lapangan pekerjaan bagi mereka. Tempat itu dikelola dengan baik dari pembuangan, dan fasiliitas lainnya. Aku sangat berharap apa yang telah aku impikan bisa terwujud setelah aku menimba ilmu di Universitas Jenderal Soedirman.
Tidak banyak yang bisa saya janjikan tentang apa yang bisa aku berikan kepada Universitas yang mau menjadikanku sebagai anak didiknya. Aku hanya bisa berusaha dengan kemampuan yang telah diberikan Allah kepadaku.
Motivasi awalku berasal dari mbakku yang juga mengambil jurusan kesehatan masyarakat di Universitas yang sama. Alasan keduaku berasal dari wilayah yang akan aku masuki. Awalnya aku ingin ke kota pelajar yaitu Jogjakarta. Akan tetapi suasana disana bagiku terlalu ramai, setiap hari macet sehingga membuatku kurang nyaman. Kemudian aku mencari Universitas yang menjanjikan tetapi dengan suasana yang kondusif. Akhirnya akuu memutuskn untuk mengambil beberapa jurusan karena aku saat mengikuti SBMPTN. Dan tiga jurusan itu aku mengambil semua di Unsoed. Alhamdulillah aku diterima di Unsoed dengan jurusan Kesmas. Mungkin awalnya aku agak ragu dan canggung. Tetapi kali ini aku yakin. This is my best way from Allah.
Dan dengan keputusanku itu aku ingin dan sangat ingin untuk ikut serta meninggikan nama almamater Universitas Jendral Soedirman. Banyak hal yang ingin aku ingin berikan dan persembahkan untuk Universitasku. Dimulai dari hal hal kecil yang kita anggap mudah dan akan terus berlanjut hingga kejuaraan tingkat Internasional. Walau hal itu sulit tetapi aku yakin. Aku akan bisa.
Aku juga pernah berharap mempunyai sebuah wilayah dan tempat untuk menampung orang orang yang tidak mampu kemudian di tempat itu juga terdapat lapangan pekerjaan bagi mereka. Tempat itu dikelola dengan baik dari pembuangan, dan fasiliitas lainnya. Aku sangat berharap apa yang telah aku impikan bisa terwujud setelah aku menimba ilmu di Universitas Jenderal Soedirman.
Tidak banyak yang bisa saya janjikan tentang apa yang bisa aku berikan kepada Universitas yang mau menjadikanku sebagai anak didiknya. Aku hanya bisa berusaha dengan kemampuan yang telah diberikan Allah kepadaku.
Autobiografi
Saya Muhammad Faris Al Ghozi lahir 18 tahun yang lalu di Wonosobo, tepatnya 29 April 1997. Aku terlahir dari kedua orang tua yang begitu hebat, bapak Riyanto serta ibu Laila Wahyuningsih.
Pendidikan awalku berawal ketika umurku 4 tahun, di sebuah TK islam bernama TK ABA Aisyiyah Bustanul Athfal. Kemudian memulai sekolah di MI Muhammadiyah Kalikajar tahun 2006. Setelah 6 tahun terlewati akhirnya aku masuk dalam sebuah pondok pesantren yang terletak di Kabupaten yang berbeda. Kabupaten Temanggung tepatnya. Pondok Assalaam nama pondoknya. Hal yang paling sulit ketika awal aku beradaptasi disebuah sekolah sekaligus rumah baru bagiku. Kegiatan serta peraturan yang begitu ketat, membuatku sangat tidak nyaman. Rasa ingin keluar dari pondok tersebut selalu membayangiku setiap hari. Tetapi rasa sangat bersalah akan lebih hebat merusak pikiranku jika aku keluar dari sana setelah ingat apa yang telah dikorbankan orang tuaku agar aku bisa masuk kesana.
Haru demi hari, bulan berganti. Akhirnya 3 tahun aku melewati banyak masalah. Dimarahi, dihukum sudah menjadi kebiasaanku setiap hari. MTs ku tamat akhirnya aku melanjutkan sekolahku ke Pondok yang sudah memberi banyak pelajaran dalam hidupku selama tiga tahun. Masa MA aku lewati dengan rasa tenang, dan masa itu merupakan ajang menunjukkan bakat kita dalam memimpin. Aku dan teman - temanku didapuk untuk mengurus ratusan anak yang juga hidup disana.
Setelah tiga tahun berlalu, akhirnya sampailah aku dipenghujung masa yang menurut orang merupakan masa yang paling berbunga bunga. Tetapi dari sini perjuanganku baru dimulai. Berawal dari keikutsertaanku dalam tes Penerimaan mahasiswa baru khusus jalur santri. Tes pertama tentang berkas lolos. Dilanjutkan tes tertulis di UIN Sunan Kalijaga Semarang. Aku mengambil jurusan Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta waktu itu. Tetapi, Allah belum memberi rezeki itu kepadaku. Perjuanganku kulanjutkan dengan mendaftar SNNPTN. Karena Universitas serta jurusan yang aku tuju terlalu tinggi untuk nilai nilaiku, akhirnya jurusan itu belum aku dapat. Perjuanganku selanjutnya yaitu ikut mendaftar SBMPTN. Kali ini aku berfikir bahwa mungkin kesehatan sedang aku sukai. Sehingga aku memutuskan untuk mengambil kesehatan. Dan dengan perjuanganku, Alhamdulillah aku bisa diterima di Universitas yang merupakan Universitas terbaik bagiku. Universitas Jenderal Soedirman, dengan Kesehatan Masyarakat.
Saya Muhammad Faris Al Ghozi lahir 18 tahun yang lalu di Wonosobo, tepatnya 29 April 1997. Aku terlahir dari kedua orang tua yang begitu hebat, bapak Riyanto serta ibu Laila Wahyuningsih.
Pendidikan awalku berawal ketika umurku 4 tahun, di sebuah TK islam bernama TK ABA Aisyiyah Bustanul Athfal. Kemudian memulai sekolah di MI Muhammadiyah Kalikajar tahun 2006. Setelah 6 tahun terlewati akhirnya aku masuk dalam sebuah pondok pesantren yang terletak di Kabupaten yang berbeda. Kabupaten Temanggung tepatnya. Pondok Assalaam nama pondoknya. Hal yang paling sulit ketika awal aku beradaptasi disebuah sekolah sekaligus rumah baru bagiku. Kegiatan serta peraturan yang begitu ketat, membuatku sangat tidak nyaman. Rasa ingin keluar dari pondok tersebut selalu membayangiku setiap hari. Tetapi rasa sangat bersalah akan lebih hebat merusak pikiranku jika aku keluar dari sana setelah ingat apa yang telah dikorbankan orang tuaku agar aku bisa masuk kesana.
Haru demi hari, bulan berganti. Akhirnya 3 tahun aku melewati banyak masalah. Dimarahi, dihukum sudah menjadi kebiasaanku setiap hari. MTs ku tamat akhirnya aku melanjutkan sekolahku ke Pondok yang sudah memberi banyak pelajaran dalam hidupku selama tiga tahun. Masa MA aku lewati dengan rasa tenang, dan masa itu merupakan ajang menunjukkan bakat kita dalam memimpin. Aku dan teman - temanku didapuk untuk mengurus ratusan anak yang juga hidup disana.
Setelah tiga tahun berlalu, akhirnya sampailah aku dipenghujung masa yang menurut orang merupakan masa yang paling berbunga bunga. Tetapi dari sini perjuanganku baru dimulai. Berawal dari keikutsertaanku dalam tes Penerimaan mahasiswa baru khusus jalur santri. Tes pertama tentang berkas lolos. Dilanjutkan tes tertulis di UIN Sunan Kalijaga Semarang. Aku mengambil jurusan Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta waktu itu. Tetapi, Allah belum memberi rezeki itu kepadaku. Perjuanganku kulanjutkan dengan mendaftar SNNPTN. Karena Universitas serta jurusan yang aku tuju terlalu tinggi untuk nilai nilaiku, akhirnya jurusan itu belum aku dapat. Perjuanganku selanjutnya yaitu ikut mendaftar SBMPTN. Kali ini aku berfikir bahwa mungkin kesehatan sedang aku sukai. Sehingga aku memutuskan untuk mengambil kesehatan. Dan dengan perjuanganku, Alhamdulillah aku bisa diterima di Universitas yang merupakan Universitas terbaik bagiku. Universitas Jenderal Soedirman, dengan Kesehatan Masyarakat.
Langganan:
Postingan (Atom)